MENCOBA LUPA
“Ini salahku,
pernah cinta padamu,
(mantan)
kekasihku.”
Mungkin, hingga
tulisan ini kau bacapun, aku masih tetap menyayangimu. Menganggapmu sebagai
kekasih imajinasiku. Mencoba menghibur diri, walau nyatanya malah menyayat
hati. Aku suka dalam dekap tubuhmu, mengasyikkan. Siapa yang dapat mendengar
bagaimana detak jantung sangat cepat beradu? Berapa banyak detak jantung yang
kembali terjadi saat pertemuan kita?
Perkenalan kita
cukup singkat, berawal dirimu yang mengagumiku dan aku dengan sikap dinginku.
Pertemuan kita bisa dihitung jari, lalu kau katakan cinta dan bisakah kita
menyatukan hati. Untuk orang yang masih patah hati, menerima orang baru bukan
hal mudah namun juga tak jadi sangat mustahil. Ya, aku bahagia, tapi tidak
benar-benar bahagia, karena (mungkin) aku tak merasakan perasaan yang sama
denganmu, karena (mungkin) aku asal menjawab saja ketika ka memintaku menjadi
saru-satunya dalam hidupmu.
Aku
tak pernah memperdulikanmu! Tak pernah ingin tahu kabarmu! Tak ingin diberi
tahu kapan jadwal band dan futsalmu usai! Sungguh, aku benar-benar tidak
peduli. Awalnya, sangat amat indah hubungan ini. Bagaimana tidak, setiap hari
akan terukir momen kebersamaan. Kamu yang selalu khawatir jika sakit melandaku
dan juga aku yang kerap kali hilang kabar. Usai jarak memisahkan kita, kamu
benar-benar sangat menjagaku. Aku benar-benar tak bebas melakukan kegiatanku
yang sebenarnya memang positif semua kulakukan untukmu.
Kamu
sangat amat menjagaku. Semakin posesif dan tidak ada lagi rasa percaya kamu
untuk aku. Pertengkaran hebat selalu menghiasi malam panjang antar layar
ponsel. Aku muak dengan semua omong kosong.
“Aku
memang tak sesibuk kamu, tapi jangan sampai terlena akan pekerjaanmu. Sisihkan
waktu untuk kita.” pintanya untuk mengakhiri perdebatan panjang kita.
“Harusnya
kita bersyukur, masih dikasih waktu walau sedikit untuk terus memberi kabar dan
sedikit perhatian.” Kataku mengucapkan kata tersebut sambil mengecap lirih.
Akankah
ada pihak yang salah dan benar di dalam cinta? Memang kusadari, lingkungan
kerjaku menuntutku untuk terus bekerja sampai terkadang tak ada waktu bagi kita
melepas rindu. Aku yang selalu berjanji untuk pulang, nyatanya kuingkari dengan
begitu manisnya. Kamu yang selalu kecewa dengan ketidakpulanganku dan semua surprise kepulanganku sirna gagal. Dan
bodohnya, dibalik semua pertengkaran dan rasa kecewa, cinta ini semakin
menguat. Aku sekarang merasakan sungguh, amat, sangat, terlalu untuk
mencintaimu.
Tembok-tembok
seakan runtuh. Keyakinanku semakin menguat. Kamu yang dulu pernah kuabaikan,
sekarang kucemaskan. Kupikir kebodohanku hanya pada level mengabaikanmu saja.
Ternyata tidak, aku kembali melakukannya.
“Bisakah
aku meminta sesuatu padamu?” kataku dengan tangis yang tak lagi bias kutahan.
“Apa?
Hapuslah sejenak air matamu terlebih dahulu.” ucapnya lewat panggilan telepon.
“Aku
hanya ingin kau menyanyikan lagu April dari Fiersa Besari, bisa?” Sungguh aku
tak kuasa menahan tangis yang akan jadi perpisahan kita. Alunan melodi seakan
mengalir melalui gendang telingaku. Bait demi bait kau lantunkan begitu
sempurna. Air mataku tumpah begitu saja. Akankah ini menjadi kebodohanku
sepanjang hidupku? Kata putus yang kulontarkan begitu mudahnya. Jangankan hari
berlalu, satu jam setelah aku berbicara itu, aku merasa menyesal dan menjadi
manusia paling bodoh.
Aku
merasa seperti kehilangan kepingan mozaik dalam hidupku; kamu yang kutinggalkan
dengan begitu kejamnya. Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyummu, kata-kata
cintamu, tak ada ada lagi hal-hal manis yang dulu kuanggap seperti sampah itu.
Tak ada lagi kamu yang mengisi hari-hariku dengan lelucon bodoh dan tampang
tolol itu. Tak ada lagi kamu yang diam-diam mencium pipiku ketika aku sibuk
dengan handphone dan laptopku. Aku merasa sendirian. Aku benar-benar
merasa kehilangan. Kini, aku semakin percaya bahwa kita baru benar-benar
mencintai seseorang ketika kita kehilangan sosoknya, dan hal itu kini terjadi
padaku.
“Ingatlah
selalu ini, kenangan kita. Ayolah.. kita bukan baru kemarin bersama dan
berjuang. Kita sudah melewati bulan-bulan yang panjang.” balasnya mengangkat
suara sambil melampirkan foto kebahagian kita (dulu).
“Cause
I love you more than the beyond words.” kataku tanpa suara
“Apa
yang salah dari aku? Bilang! Aku akan coba memperbaiki.. Aku gamau kita pisah.”
ucapnya memohon lirih.
Betapa
sekejam itu wanita yang selama ini kau perjuangkan. Aku memang bodoh. Melepasmu
begitu lugu. Perpisahan ini rasanya tak masuk di akal. Kemarin, kami yang
baik-baik saja. Sekarang aku meminta menyudahinya. Cinta kadang bisa jadi
lembut bisa juga menjadi kejam. Dan aku menjadi kejam seperti ini hanya untuk
mencoba lupa denganmu. Lupa dengan perasaan ini. Lupa kalau aku pernah torehkan
luka.
Tak
ada hari bahagia lagi antara kami. Hariku kosong. Tak ada alarm berjalan yang
mengikutiku ketika aku hilang kabar. Tak lagi ada ucapan selamat tidur dan
kasih sayang disertai emoticon love.
Tapi, tanpa kau sadar, aku masih disini. Menunggumu. Nyatanya, kamu saling
menunggu hanya saja tangan kami sudah tak bergandengan.
Perihal
tak memperdulikanmu, bukanlah kegemaranku. Aku sedang berpura-pura, untuk
menyembuhkan memori dan luka. Aku mencoba lupa. Aku tak ingin menyakitimu
dengan semua sikap bodohku. Bodoh betul memang, aku yang mengakhiri. Namun, aku
yang harus menanggung kebodohanku sendiri. Menyukai postingan galau, membuka instagram hanya demi melihatmu online atau tidak, terus membuka akunmu;
siapa tau kau membuat story feeds,
melihat WhatsApp berharap ketika aku
membukanya; aku melihat tulis ’typing a
message’ terpampang di sudut layarku.
“Mungkin
hari ini kita sedang berlomba-lomba untuk saling membenci, kita berlomba untuk
saling lupa. Kita lega, kita sembuh, kita berhasil. Namun apakah kita tahu,
bahwa kita tidak pernah benar-benar melupakan apa yang hati kita ingat? Apakah
kita sadar bahwa sebenarnya hanya berpura-pura; mencoba lupa. Merindukanmu aku
masih saja, memikirkanmu selalu jadi kegemaranku. Aku tidak lupa setiap inch
kenangan pernah kita lalui bersama. Aku pun tidak benci. Aku lega dapat
berdamai dengan ‘kita’ tanpa rasa dendam.” balasmu melalui pesan singkat
menutup pertengkaran emosional kita.
“Ini
salahku, pernah cinta padamu; (mantan) kekasihku” ucapku sambil mendekap foto
kita dengan tanpa suara.
Maaf
untuk aku yang terlalu emosional untuk perpisahan kita ini. Benar katamu,
rupanya aku sedang bertopeng; mencoba menjadi aku yang baru dengan berpura-pura
sudah lupa padamu. Namun, hatiku gigih menetap. ‘Aku disini’ bisakah kau dengar
bisikkan hatiku. Aku hanya memperbaiki diri dengan membenci, tapi rupanya ini
cukup menyayat hati.