Selasa, 30 Oktober 2018

MENCOBA LUPA


 MENCOBA LUPA

“Ini salahku, pernah cinta padamu,
(mantan) kekasihku.”

Mungkin, hingga tulisan ini kau bacapun, aku masih tetap menyayangimu. Menganggapmu sebagai kekasih imajinasiku. Mencoba menghibur diri, walau nyatanya malah menyayat hati. Aku suka dalam dekap tubuhmu, mengasyikkan. Siapa yang dapat mendengar bagaimana detak jantung sangat cepat beradu? Berapa banyak detak jantung yang kembali terjadi saat pertemuan kita?

Perkenalan kita cukup singkat, berawal dirimu yang mengagumiku dan aku dengan sikap dinginku. Pertemuan kita bisa dihitung jari, lalu kau katakan cinta dan bisakah kita menyatukan hati. Untuk orang yang masih patah hati, menerima orang baru bukan hal mudah namun juga tak jadi sangat mustahil. Ya, aku bahagia, tapi tidak benar-benar bahagia, karena (mungkin) aku tak merasakan perasaan yang sama denganmu, karena (mungkin) aku asal menjawab saja ketika ka memintaku menjadi saru-satunya dalam hidupmu.

Aku tak pernah memperdulikanmu! Tak pernah ingin tahu kabarmu! Tak ingin diberi tahu kapan jadwal band dan futsalmu usai! Sungguh, aku benar-benar tidak peduli. Awalnya, sangat amat indah hubungan ini. Bagaimana tidak, setiap hari akan terukir momen kebersamaan. Kamu yang selalu khawatir jika sakit melandaku dan juga aku yang kerap kali hilang kabar. Usai jarak memisahkan kita, kamu benar-benar sangat menjagaku. Aku benar-benar tak bebas melakukan kegiatanku yang sebenarnya memang positif semua kulakukan untukmu.

Kamu sangat amat menjagaku. Semakin posesif dan tidak ada lagi rasa percaya kamu untuk aku. Pertengkaran hebat selalu menghiasi malam panjang antar layar ponsel. Aku muak dengan semua omong kosong.

“Aku memang tak sesibuk kamu, tapi jangan sampai terlena akan pekerjaanmu. Sisihkan waktu untuk kita.” pintanya untuk mengakhiri perdebatan panjang kita.

“Harusnya kita bersyukur, masih dikasih waktu walau sedikit untuk terus memberi kabar dan sedikit perhatian.” Kataku mengucapkan kata tersebut sambil mengecap lirih.

Akankah ada pihak yang salah dan benar di dalam cinta? Memang kusadari, lingkungan kerjaku menuntutku untuk terus bekerja sampai terkadang tak ada waktu bagi kita melepas rindu. Aku yang selalu berjanji untuk pulang, nyatanya kuingkari dengan begitu manisnya. Kamu yang selalu kecewa dengan ketidakpulanganku dan semua surprise kepulanganku sirna gagal. Dan bodohnya, dibalik semua pertengkaran dan rasa kecewa, cinta ini semakin menguat. Aku sekarang merasakan sungguh, amat, sangat, terlalu untuk mencintaimu.

Tembok-tembok seakan runtuh. Keyakinanku semakin menguat. Kamu yang dulu pernah kuabaikan, sekarang kucemaskan. Kupikir kebodohanku hanya pada level mengabaikanmu saja. Ternyata tidak, aku kembali melakukannya.
“Bisakah aku meminta sesuatu padamu?” kataku dengan tangis yang tak lagi bias kutahan.

“Apa? Hapuslah sejenak air matamu terlebih dahulu.” ucapnya lewat panggilan telepon.

“Aku hanya ingin kau menyanyikan lagu April dari Fiersa Besari, bisa?” Sungguh aku tak kuasa menahan tangis yang akan jadi perpisahan kita. Alunan melodi seakan mengalir melalui gendang telingaku. Bait demi bait kau lantunkan begitu sempurna. Air mataku tumpah begitu saja. Akankah ini menjadi kebodohanku sepanjang hidupku? Kata putus yang kulontarkan begitu mudahnya. Jangankan hari berlalu, satu jam setelah aku berbicara itu, aku merasa menyesal dan menjadi manusia paling bodoh.

Aku merasa seperti kehilangan kepingan mozaik dalam hidupku; kamu yang kutinggalkan dengan begitu kejamnya. Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyummu, kata-kata cintamu, tak ada ada lagi hal-hal manis yang dulu kuanggap seperti sampah itu. Tak ada lagi kamu yang mengisi hari-hariku dengan lelucon bodoh dan tampang tolol itu. Tak ada lagi kamu yang diam-diam mencium pipiku ketika aku sibuk dengan handphone dan laptopku. Aku merasa sendirian. Aku benar-benar merasa kehilangan. Kini, aku semakin percaya bahwa kita baru benar-benar mencintai seseorang ketika kita kehilangan sosoknya, dan hal itu kini terjadi padaku.

“Ingatlah selalu ini, kenangan kita. Ayolah.. kita bukan baru kemarin bersama dan berjuang. Kita sudah melewati bulan-bulan yang panjang.” balasnya mengangkat suara sambil melampirkan foto kebahagian kita (dulu).

“Cause I love you more than the beyond words.” kataku tanpa suara

“Apa yang salah dari aku? Bilang! Aku akan coba memperbaiki.. Aku gamau kita pisah.” ucapnya memohon lirih.

Betapa sekejam itu wanita yang selama ini kau perjuangkan. Aku memang bodoh. Melepasmu begitu lugu. Perpisahan ini rasanya tak masuk di akal. Kemarin, kami yang baik-baik saja. Sekarang aku meminta menyudahinya. Cinta kadang bisa jadi lembut bisa juga menjadi kejam. Dan aku menjadi kejam seperti ini hanya untuk mencoba lupa denganmu. Lupa dengan perasaan ini. Lupa kalau aku pernah torehkan luka.

Tak ada hari bahagia lagi antara kami. Hariku kosong. Tak ada alarm berjalan yang mengikutiku ketika aku hilang kabar. Tak lagi ada ucapan selamat tidur dan kasih sayang disertai emoticon love. Tapi, tanpa kau sadar, aku masih disini. Menunggumu. Nyatanya, kamu saling menunggu hanya saja tangan kami sudah tak bergandengan.

Perihal tak memperdulikanmu, bukanlah kegemaranku. Aku sedang berpura-pura, untuk menyembuhkan memori dan luka. Aku mencoba lupa. Aku tak ingin menyakitimu dengan semua sikap bodohku. Bodoh betul memang, aku yang mengakhiri. Namun, aku yang harus menanggung kebodohanku sendiri. Menyukai postingan galau, membuka instagram hanya demi melihatmu online atau tidak, terus membuka akunmu; siapa tau kau membuat story feeds, melihat WhatsApp berharap ketika aku membukanya; aku melihat tulis ’typing a message’ terpampang di sudut layarku.

“Mungkin hari ini kita sedang berlomba-lomba untuk saling membenci, kita berlomba untuk saling lupa. Kita lega, kita sembuh, kita berhasil. Namun apakah kita tahu, bahwa kita tidak pernah benar-benar melupakan apa yang hati kita ingat? Apakah kita sadar bahwa sebenarnya hanya berpura-pura; mencoba lupa. Merindukanmu aku masih saja, memikirkanmu selalu jadi kegemaranku. Aku tidak lupa setiap inch kenangan pernah kita lalui bersama. Aku pun tidak benci. Aku lega dapat berdamai dengan ‘kita’ tanpa rasa dendam.” balasmu melalui pesan singkat menutup pertengkaran emosional kita.

“Ini salahku, pernah cinta padamu; (mantan) kekasihku” ucapku sambil mendekap foto kita dengan tanpa suara.

Maaf untuk aku yang terlalu emosional untuk perpisahan kita ini. Benar katamu, rupanya aku sedang bertopeng; mencoba menjadi aku yang baru dengan berpura-pura sudah lupa padamu. Namun, hatiku gigih menetap. ‘Aku disini’ bisakah kau dengar bisikkan hatiku. Aku hanya memperbaiki diri dengan membenci, tapi rupanya ini cukup menyayat hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar