Percayakah anda, bahwa hitam berasal
dari semua yang putih dan yang hitam dapat berubah jadi putih ? Sebuah kisah
diceritakan seorang anak bernama Joy Alexandra. Seorang anak perempuan yang
dilengkapi seorang Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik. Hidupnya bisa dikatakan berkecukupan,
tidak bergelimang harta dan tidak juga kekurangan biaya. Awalnya, semua berjalan
sebagaimana mestinya, Lexa bersekolah, bertemu banyak teman, bermain, rekreasi,
dan melakukan aktivitas selayaknya anak-anak pada umumnya.
Semua bermula pada pertengkaran
kedua orang tuanya di hadapan anak-anaknya. Sampai saat ini, semuanya seperti
terekam jelas di benak Lexa. Lexa yang awalnya seorang yang ekstrovert mulai
mengunci dirinya karena trauma oleh bising dan suara hentakan. Satu-satunya
orang yang menjadi tempat perlindungan adalah kakeknya. Sosok kakek bagi Lexa
adalah orang tua baginya. Tapi, hal tersebut tidak berlangsung lama, di umurnya
yang masih 12 tahun, sang kakek pergi meninggalkan semuanya untuk
selama-lamanya.
Hidup Lexa kembali hampa, semuanya nampak
kelam. Traumatik mendalam, kepergian orang terdekat, dan hidup sebagai orang
yang introvert merupakan momok buruk di dalam hidupnya. Hari-hari Lexa dilewati
dengan murung, takut, dan menangis. Semuanya nampak menghantui, pikiran untuk
kabur dari rumah hingga mengakhiri diri selalu terbayang siang dan malam. Di
suatu malam, ketika Lexa sedang menangis, Ia seperti mendengar suatu bisikan
yang tak akan pernah ia lupakan. Dalam gelapnya malam, ada satu terang yang
mendekatinya dan berkata, “Ini bukanlah akhir dari hidupmu, Aku sudah menyediakan
umurmu lebih panjang jauh dari apa yang perkirakan. Hidupmu, milikmu. Pakailah
sesuai apa yang disediakan”. Sejujurnya, Lexa tidak mengerti maksud dari
kata-kata tersebut.
Hari demi hari berganti, kata-kata
tersebut terus menerus di pikirannya. Kata-kata tersebut seolah menjadi magic word baginya. Ia mulai hidupnya
dengan lebih produktif dan mengisi kekosongan hari dengan belajar dan
berprestasi. Biasanya, ketika ia pulang sekolah, ia kembali merenung hingga
malam. Tetapi, kini ia menghabiskan waktu di sekolah hingga jam 10 malam untuk
mengerjakan proyek ilmiahnya untuk berkompetisi nasional. Lambat laun, ia mulai
melupakan kepahitannya dan menjadi seorang yang kembali ceria. Sekarang,
semuanya nampak bewarna. Hidupnya yang kini diwarnai dengan warna hitam, dapat
seketika berubah menjadi warna terang. Lexa berprestasi, melupakan
kepahitannya, dan orang-orang bangga padanya. Tapi, tidak untuk kedua
orangtuanya.
Orang tuanya bahkan tak pernah menonton
pertunjukkan project ilmiahnya bahkan acuh terhadap kondisi Lexa. Hal tersebut
sebenarnya membuatnya sangat sedih. Luka memang tak secepat itu untuk sembuh,
kepahitan terhadap orang tuanya terus terbesit dalam pikiran Lexa. Tapi, ia
tetap senang menjadi anak yang berprestasi sekalipun orang tuanya acuh padanya.
Mungkin, orang-orang melihat Lexa sebagai pribadi yang riang, pintar, dan
selalu hidup bahagia. Walaupun, Lexa seperti menyimpan banyak luka dan
kepedihan di dalamnya. Masa remaja Lexa dihabiskan untuk mengejar prestasi
hingga Ia pun lupa bahwa di balik kesenangannya berprestasi, ia sangat amat
sedih karena sebenarnya ia butuh sosok orang tua yang mampu menyayanginya dan
bangga padanya, seperti orang tua pada umumnya.
Di suatu sore, Lexa pergi ke sebuah
bukit. Tepat pukul 17.55 WIB, sang surya kembali ke tempat peristirahatannya,
ia memandang mentari dengan sangat lekat. Lexa kembali memutar semua kejadian
yang dulu sempat menghantui dirinya. Pertengkaran orang tuanya, meninggalnya
sang kakek, hingga pikiran untuk mengakhiri hidup, sampai pada ketersiksaan
batin atas orang tuanya. Lexa mengulas senyum, ia kembali teringat kepada malam
itu. Malam yang harusnya menjadi malam terakhir baginya di Dunia. Kini, Lexa
mengerti makna dari kata-kata tersebut. Lexa bangga pada pencapaiannya saat
ini, Lexa dapat mengubah hidupnya yang kelam kini menjadi ruang bewarna.
Setidaknya, Lexa telah menyelamatkan hidupnya pada malam itu. Lexa menjadi
pribadi yang positif, dan ia sangat bersyukur akan hal tersebut. Kepahitan yang
hampir menjerumuskannya pada bunuh diri, narkoba, dan hal negatif lainnya, kini semuanya sirna dengan ruang yang
kini sangat amat nyaman ditempati oleh seorang yang berhasil menjadi pahlawan
bagi dirinya, Joy Alexandra.
“Sesuatu yang
buruk, mungkin itu adalah yang terbaik menurut-Nya.”
-Joy Alexandra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar