Selasa, 17 Maret 2020

HERO FOR MYSELF: JOY ALEXANDRA



         Percayakah anda, bahwa hitam berasal dari semua yang putih dan yang hitam dapat berubah jadi putih ? Sebuah kisah diceritakan seorang anak bernama Joy Alexandra. Seorang anak perempuan yang dilengkapi seorang Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik. Hidupnya bisa dikatakan berkecukupan, tidak bergelimang harta dan tidak juga kekurangan biaya. Awalnya, semua berjalan sebagaimana mestinya, Lexa bersekolah, bertemu banyak teman, bermain, rekreasi, dan melakukan aktivitas selayaknya anak-anak pada umumnya.
            Semua bermula pada pertengkaran kedua orang tuanya di hadapan anak-anaknya. Sampai saat ini, semuanya seperti terekam jelas di benak Lexa. Lexa yang awalnya seorang yang ekstrovert mulai mengunci dirinya karena trauma oleh bising dan suara hentakan. Satu-satunya orang yang menjadi tempat perlindungan adalah kakeknya. Sosok kakek bagi Lexa adalah orang tua baginya. Tapi, hal tersebut tidak berlangsung lama, di umurnya yang masih 12 tahun, sang kakek pergi meninggalkan semuanya untuk selama-lamanya.
            Hidup Lexa kembali hampa, semuanya nampak kelam. Traumatik mendalam, kepergian orang terdekat, dan hidup sebagai orang yang introvert merupakan momok buruk di dalam hidupnya. Hari-hari Lexa dilewati dengan murung, takut, dan menangis. Semuanya nampak menghantui, pikiran untuk kabur dari rumah hingga mengakhiri diri selalu terbayang siang dan malam. Di suatu malam, ketika Lexa sedang menangis, Ia seperti mendengar suatu bisikan yang tak akan pernah ia lupakan. Dalam gelapnya malam, ada satu terang yang mendekatinya dan berkata, “Ini bukanlah akhir dari hidupmu, Aku sudah menyediakan umurmu lebih panjang jauh dari apa yang perkirakan. Hidupmu, milikmu. Pakailah sesuai apa yang disediakan”. Sejujurnya, Lexa tidak mengerti maksud dari kata-kata tersebut.
            Hari demi hari berganti, kata-kata tersebut terus menerus di pikirannya. Kata-kata tersebut seolah menjadi magic word baginya. Ia mulai hidupnya dengan lebih produktif dan mengisi kekosongan hari dengan belajar dan berprestasi. Biasanya, ketika ia pulang sekolah, ia kembali merenung hingga malam. Tetapi, kini ia menghabiskan waktu di sekolah hingga jam 10 malam untuk mengerjakan proyek ilmiahnya untuk berkompetisi nasional. Lambat laun, ia mulai melupakan kepahitannya dan menjadi seorang yang kembali ceria. Sekarang, semuanya nampak bewarna. Hidupnya yang kini diwarnai dengan warna hitam, dapat seketika berubah menjadi warna terang. Lexa berprestasi, melupakan kepahitannya, dan orang-orang bangga padanya. Tapi, tidak untuk kedua orangtuanya.
            Orang tuanya bahkan tak pernah menonton pertunjukkan project ilmiahnya bahkan acuh terhadap kondisi Lexa. Hal tersebut sebenarnya membuatnya sangat sedih. Luka memang tak secepat itu untuk sembuh, kepahitan terhadap orang tuanya terus terbesit dalam pikiran Lexa. Tapi, ia tetap senang menjadi anak yang berprestasi sekalipun orang tuanya acuh padanya. Mungkin, orang-orang melihat Lexa sebagai pribadi yang riang, pintar, dan selalu hidup bahagia. Walaupun, Lexa seperti menyimpan banyak luka dan kepedihan di dalamnya. Masa remaja Lexa dihabiskan untuk mengejar prestasi hingga Ia pun lupa bahwa di balik kesenangannya berprestasi, ia sangat amat sedih karena sebenarnya ia butuh sosok orang tua yang mampu menyayanginya dan bangga padanya, seperti orang tua pada umumnya.
            Di suatu sore, Lexa pergi ke sebuah bukit. Tepat pukul 17.55 WIB, sang surya kembali ke tempat peristirahatannya, ia memandang mentari dengan sangat lekat. Lexa kembali memutar semua kejadian yang dulu sempat menghantui dirinya. Pertengkaran orang tuanya, meninggalnya sang kakek, hingga pikiran untuk mengakhiri hidup, sampai pada ketersiksaan batin atas orang tuanya. Lexa mengulas senyum, ia kembali teringat kepada malam itu. Malam yang harusnya menjadi malam terakhir baginya di Dunia. Kini, Lexa mengerti makna dari kata-kata tersebut. Lexa bangga pada pencapaiannya saat ini, Lexa dapat mengubah hidupnya yang kelam kini menjadi ruang bewarna. Setidaknya, Lexa telah menyelamatkan hidupnya pada malam itu. Lexa menjadi pribadi yang positif, dan ia sangat bersyukur akan hal tersebut. Kepahitan yang hampir menjerumuskannya pada bunuh diri, narkoba, dan hal negatif  lainnya, kini semuanya sirna dengan ruang yang kini sangat amat nyaman ditempati oleh seorang yang berhasil menjadi pahlawan bagi dirinya, Joy Alexandra.
“Sesuatu yang buruk, mungkin itu adalah yang terbaik menurut-Nya.”
-Joy Alexandra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar